Sabtu, 21 Februari 2009

BUDAYA K3 BUKAN DENGAN PUNISHMENT

Bukan cuma standar keselamatan kerja yang rendah di Indonesia, tetapi taraf kesadaran pekerja akan keselamatan dirinya sendiri pun sangat minim. Tak heran, bila pekerjaan yang seharusnya membawa berkah berubah menjadi malapetaka ketika terjadi kecelakaan kerja.
Coba simak berita ini. Dilaporkan sedikitnya 17 pekerja tewas akibat kecelakaan kerja di Jakarta dalam 7 bulan terakhir ini. Lima diantaranya terjatuh dari gondola saat melakukan perawatan rutin Menara RCTI di Kebon Jeruk Jakarta Barat. Tali sling crawl crane gondola tiba-tiba terputus ketika kelima pekerja sedang melakukan pengelasan menara stasiun televisi terkemuka itu. Kelima pekerja tersebut terhempas dari ketinggian 50 meter, dan tewas seketika.
Sepekan sebelumnya seorang pekerja tewas mengenaskan, juga akibat jatuh dari atas gondola di sebuah proyek di Jalan MT Haryono Jakarta.
Tragis! Pekerjaan yang diniatkan untuk menghidupi keluarga malah membawa malapetaka dan penyesalan bagi keluarga yang ditinggalkan.
Kecelakaan kerja sebetulnya bisa dicegah bila setiap orang awas terhadap faktor-faktor unsafe condition, maupun unsafe action di sekitar lingkungan tempat bekerja. Logikanya, pekerja yang tidak dilengkapi alat pengaman diri, dan tempat kerja yang tidak aman bagi keselamatan kerja, cenderung menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja. Terlebih lagi bila dalam unsafe condition tersebut, pekerja melakukan tindakan yang tidak aman (unsafe act) bagi dirinya maupun bagi rekan sekerjanya.
Oleh karenanya, penting bagi sesama pekerja untuk saling mengingatkan penerapan standar keselamatan kerja. Kalau perlu, diterapkan kebijakan “menolak tugas” apabila dirasa standar keselamatan kerjanya tidak terpenuhi.
Kebijakan menolak tugas bukanlah upaya untuk menurunkan produktivitas. Ada suatu contoh. Seorang quality control supervisor dalam sebuah proyek survey seismik, eksplorasi minyak, pernah menolak tugas yang diberikan kepadanya untuk melakukan pengecekan lintasan seismik. Ternyata, penolakan tersebut bukan membuat dirinya dikenai sanksi, tetapi justru didukung dan dipuji oleh atasan. Sang atasan segera menyadari kekeliruannya. Alasan yang dikemukakan ketika itu adalah tidak dibenarkan berjalan sendirian di dalam lintasan, sebab itu tergolong sebagai unsafe act.
Tak dapat dimungkiri, para pengusaha nasional cenderung berkiblat pada kredo meraup untung besar dengan biaya serendah-rendahnya. Kesadaran yang dibangun terhadap para pekerja adalah pencapaian target produksi, tanpa memikirkan faktor-faktor keselamatan kerja. Hanya sedikit dari kalangan pengusaha yang menjadikan kebijakan Health Safety Environment (HSE) sebagai nilai tambah untuk memenuhi kepuasan pelanggan yang menggunakan jasa mereka.
Kebanyakan pengusaha melihat HSE sebagai beban biaya yang harus dipangkas seringkas mungkin. Ketika kontrak kerja mewajibkan dipenuhinya standar HSE, yang dilakukan mereka bukannya memenuhi standar tersebut melainkan menawar, bahkan kalau perlu menghilangkan standar tersebut disertai upaya menyogok pengawas proyek, ataupun lembaga sertifikasi keselamatan kerja. Sehingga isu keselamatan kerja berhenti sebatas jargon yang ditempel di papan-papan pengumuman pabrik, atau area kerja belaka, tanpa implementasi yang memadai.
Sebuah lembaga yang mengawasi keselamatan transportasi pun pernah melalaikan ihwal keselamatan. Anda tentu masih ingat ketika sejumlah anggota Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KINKT) bersama para kameraman televisi melakukan investigasi di bangkai Kapal Motor Levina yang habis terbakar setahun silam? Mereka naik ke deck kapal yang sudah menjadi bangkai. Lalu kapal itu perlahan mulai oleng dan karam. Sejurus kemudian, mereka tercebur bersama karamnya kapal ke dasar laut. Dua kamerawan televisi tewas setelah tenggelam bersama kapal tersebut.
Ironisnya, tak satupun anggota KNKT dan juru kamera itu yang mengenakan pelampung saat melakukan pekerjaan beresiko tinggi di tengah laut! Mungkin jalan cerita mengenai tewasnya dua jurnalis televisi saat peliputan tersebut akan berbeda jika pelampung dikenakan sejak mereka menginjakkan kaki di dermaga, dan naik ke atas speedboat.Sebagai perbandingan, pekerja yang tidak mengenakan pelampung akan langsung dipecat oleh perusahaan yang mempekerjakannya, dalam operasi laut pekerjaan eksplorasi migas

Ada satu tradisi di departemen HSE dalam proyek-proyek eksplorasi migas, yang disebut Stop Card, yang tampaknya cocok untuk ditiru oleh industri lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran akan keselamatan kerja.
Stop Card adalah lembar isian mengenai kondisi tidak aman (unsafe condition), tindakan tidak aman (unsafe action), ataupun nearmiss (nyaris terjadi kecelakaan) yang ditemukan oleh seseorang dalam pekerjaan mereka sehari-hari. Setiap orang dibekali stop card untuk diisi. Di dalamnya terdapat isian mengenai kejadian, tanggal kejadian, lokasi, tindakan yang dilakukan, dan lain-lain.

Dari stop card tersebut, petugas dari bagian Health Safety Environment (HSE) dapat menemukan fakta-fakta sederhana yang membahayakan keselamatan kerja dan lingkungan, seperti pengemudi atau penumpang kendaraan yang tak mau mengenakan safety belt, genangan air di dekat tangga, ada yang merokok di dalam speedboat, tidak pakai helm saat bekerja, tidak tersedia tempat pembuangan sampah plastik, dan lain-lainnya.
Setiap pekerja dibekali berlembar-lembar stop card, dan petugas dari bagian Health Safety Environment secara rutin menindaklanjuti setiap laporan di dalam stop card. Departemen HSE juga memberikan apresiasi tersendiri kepada pekerja yang banyak memberikan masukan di dalam Stop Card tadi, misalkan, dengan hadiah uang.

Lewat cara seperti itu, kesadaran akan keselamatan kerja, lingkungan hidup, dan kesehatan, dari hari ke hari mengalami peningkatan di dalam diri pekerja. Bagaimanapun, pekerja di lapanganlah yang lebih tahu resiko yang dihadapinya. Dan pekerjalah yang menanggung resiko terberat manakala terjadi kecelakaan kerja yang menimpa dirinya.
Produktivitas tinggi yang dicapai dengan susah payah tak akan ada artinya bila diwarnai insiden maupun kecelakaan yang memakan korban jiwa pekerja. Untuk apa mati-matian bekerja kalau akhirnya Anda pulang kerja dengan kondisi tubuh yang cacat, atau hanya tinggal nama saja.

neruske seko mas : Adhie

Tidak ada komentar:

Posting Komentar